Free Flower Color Change2 Cursors at www.totallyfreecursors.com
LISA NURHIDAYAH XI BP 2 SMK NEGERI 1 KARANGANYAR

Makanan Halal dan Haram



MAKANAN HALAL DAN HARAM


 Serial Quran dan Sains

Seperti telah diuraikan sebelumnya, Allah melalui Alquran memerintahkan manusia untuk makan makanan yang halal dan baik (ṭayyib). Perintah tersebut mengisyaratkan bahwa makanan yang baik adalah yang memenuhi dua kriteria ini. Makanan yang halal dan baik dipastikan memberi manfaat bagi yang mengonsumsinya. Kriteria baik (ṭayyib) tersebut meliputi banyak faktor, di antaranya nilai gizi makanan, kecukupan gizi, serta keamanan makanan. Untuk memahami kriteria ini diperlukan ilmu pengetahuan, baik ilmu pangan maupun ilmu kesehatan. Adapun kriteria halal dan juga antonimnya yakni haram, Allah-Iah yang menentukannya. Ketentuan itu tertulis dengan jelas dalam Alquran dan hadis Rasulullah. Pada hakikatnya, semua makanan karunia Allah di bumi ini adalah halal, kecuali yang dilarang. Makanan yang dilarang atau haram inilah yang harus dipahami selanjutnya.


MAKANAN YANG DIHARAMKAN


Haram menurut Alquran dan Hadis
Pada dasarnya segala sesuatu yang ada di bumi ini dihukumi halal berdasarkan pada pemahaman terhadap Surah al-Baqarah/2: 29,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ۝
Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Alquran, Surah al-Baqarah/2: 29)
Ayat ini mengungkapkan bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu di bumi untuk manusia. Informasi ini sekaligus merupakan isyarat bahwa apa saja yang diciptakan itu merupakan sesuatu yang boleh dimanfaatkan oleh manusia. Termasuk dalam hal ini adalah kebolehan mengonsumsi sesuatu yang memang layak untuk dimakan. Ayat yang senada dengan petunjuk Allah di atas dapat dijumpai pada Surah al-Jāṡṡiyah/45: 13,
وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِّنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ۝
Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. (Alquran, Surah al-Jāṡṡiyah /45: 13)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah menundukkan semua makhluk ciptaan-Nya, baik yang ada di langit maupun bumi untuk dipergunakan dan dimanfaatkan oleh manusia yang diberi tugas sebagai khalifah di bumi. Semua ciptaan dan kebolehan dalam memanfaatkannya merupakan rahmat yang memang dianugerahkan kepada manusia sebagai mahluk-Nya yang terunggul.
Di antara bentuk pemanfaatan terhadap apa yang ada di langit dan di bumi adalah kebolehan untuk mengonsumsi makanan. Tentunya hal ini bila berkaitan dengan makanan dan minuman yang memang layak untuk dikonsumsi. Adapun yang berkaitan dengan ciptaan lain, seperti air, udara, mineral, dan panas matahari, maka pemanfaatan itu terkait dengan penggunaannya bagi kepentingan manusia dalam melaksanakan tugas-tugas kekhalifahannya.
Dari ayat-ayat di atas dapat dipahami bahwa sesungguhnya semua makanan yang disediakan Allah itu, sebelum datangnya ketentuan dari Allah, pada dasarnya dihukumi halal. Manusia sendiri yang kemudian tersesat sehingga berinisiatif menetapkan sebagiannya halal dan sebagian yang lain haram. Allah menginformasikan hal tersebut dalam Surah Yūnus/10: 59,

قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ۝
Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?” (Alquran, Surah Yūnus/10: 59)
Ayat ini berisi kritikan Allah terhadap kaum musyrik yang mengingkari kebenaran wahyu dan kerasulan Nabi Muhammad. Di antara yang mereka ingkari adalah yang berkaitan dengan rezeki karunia Allah. Semua yang ada merupakan ciptaan-Nya. Demikian pula yang terkait dengan rezeki yang menjadi sumber kehidupan mereka, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan. Allah saja yang berhak menetapkan halal dan haramnya rezeki itu, bukan manusia yang hanya diposisikan sebagi pemanfaatnya. Sebagian dari mereka menetapkan kehalalan atau keharaman suatu makanan berdasarkan keinginan semata, tanpa didukung oleh dalil yang sah. Dengan berbuat demikian mereka dapat dianggap telah melakukan kezaliman terhadap hak Allah.
Ketetapan Allah bahwa semua makanan yang ada di muka bumi pada dasarnya dihukumi halal dapat pula dipahami dari ayat yang berbicara tentang Bani Israil, yaitu Surah Āli ‘Imrān/3: 93,

كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَىٰ نَفْسِهِ مِن قَبْلِ أَن تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ ۗ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ۝
Semua makanan itu halal bagi Bani lsrail, kecuali makanan yang diharamkan oleh lsrail (Yakub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah (Muhammad), “Maka bawalah Taurat lalu bacalah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Alquran, Surah Āli ‘Imrān/3: 93) 
Ayat ini menerangkan bahwa semua makanan itu dihalalkan bagi Bani Israil dan juga bagi para nabi dan umat sebelumnya. Namun demikian, dalam kisahnya, Nabi Yakub, yang digelari Israil, ternyata telah mengharamkan beberapa makanan untuk dirinya sendiri. Pengharaman ini disebabkan oleh penyakit yang dideritanya dan mengharuskan beliau untuk menghindarinya. Apabila ia memaksakan diri untuk memakannya maka ia yakin penyakitnya akan semakin parah. Di antaranya makanan yang dipantang Nabi Yakub adalah daging unta.
Pantangan yang disebabkan penyakit ini ternyata dianggap oleh sebagian Bani Israil sebagai ketetapan syariat sehingga mereka ikut mengharamkannya. Perilaku demikian, yaitu mengharamkan sesuatu yang sesungguhnya dihalalkan, dinilai sebagai salah satu bentuk kezaliman atau pelanggaran. Karena sebab ini mereka mendapat hukuman tidak boleh mengonsumsi makanan tertentu, yang sebelumnya merupakan sesuatu yang halal. Penjelasan demikian dapat ditemukan pada Surah an-Nisā’/4: 160,

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَن سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا۝
Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan. (Alquran, Surah an-Nisā’/4: 160)
Kezaliman pada ayat ini ditafsirkan sebagai upaya mereka mengharamkan makanan yang sesungguhnya dihalalkan. Disebut kezaliman karena hanya Allah yang mempunyai otoritas dalam penetapan syariat, bukan manusia. Karena kaum Yahudi telah melakukan pelanggaran ini, maka kemudian mereka dihukum dengan datangnya firman Tuhan yang mengharamkan atas mereka beberapa jenis makanan yang sebelumnya halal. Makanan apa saja yang diharamkan diharamkan bagi mereka dapat kita jumpai penjelasannya dalam Surah al-An‘ām/6: 146,

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُم بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ۝
Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami Mahabenar. (Alquran, Surah al-An‘ām/6: 146)
Ayat ini menjelaskan adanya beberapa jenis binatang dan makanan yang diharamkan bagi orang Yahudi, yaitu binatang yang berkuku, yakni binatang-binatang yang jari-jarinya tidak terpisah antara satu dengan yang lain, seperti unta, itik, angsa, dan lainlain. Sebagian mufasir mengartikan żī ẓufur dengan hewan yang berkuku satu, seperti kuda, keledai, dan lain-lain. Pengharaman ini adalah sebagai akibat kedurhakaan mereka, yaitu mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah.
Mengharamkan sesuatu, termasuk makanan, harus berdasarkan ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, yakni melalui Alquran dan Sunah. Selanjutnya perlu juga dipahami bahwa pengharaman suatu makanan oleh Allah dan rasul-Nya sudah tentu didasarkan pada kepentingan dan kondisi manusia itu sendiri. Yang demikian ini karena ada beberapa makanan yang dapat berdampak negatif terhadap jasmani maupun rohani mereka. Makanan-makanan yang diharamkan menurut ketetapan syariat dapat ditemukan dalam berbagai ayat, di antaranya Surah al-An‘ām/6: 145,

قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ۝
Katakanlah,”Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi-karena semua itu kotoratau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah. (Alquran, Surah al-An‘ām/6: 145)
Ayat ini menjelaskan perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengritik sikap orang-orang musyrik yang tidak benar tentang makanan. Pada saat itu mereka sering menetapkan kehalalan atau keharaman makanan berdasarkan keinginan sendiri, sesuatu yang mestinya merupakan hak prerogatif Tuhan. Dalam ayat ini Rasulullah diminta untuk menyampaikan, sesuai dengan wahyu yang diterimanya, bahwa makanan yang diharamkan itu terdiri dari empat macam, yaitu:
  1. Hewan mati (bangkai), yakni hewan yang tidak disembelih sesuai dengan aturan syariat, misalnya hewan yang mati karena sakit, tercekik, terpukul, terjatuh, dan sebagainya.
  2. Darah yang mengalir, atau yang keluar dari tubuh hewan yang disembelih, atau karena luka, dan lain sebagainya.
  3. Daging babi, demikian pula semua bagian tubuhnya, seperti bulu, kulit, tulang, susu, dan lemak.
  4. Binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, seperti yang disembelih dengan menyebut nama berhala atau yang dipersembahkan kepada selain Allah.



Bangkai Kambing

Ayat senada yang juga menjelaskan perihal makanan-makanan yang diharamkan adalah firman Allah dalam Surah al-Mā’idah/5: 3,
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ۝
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembeIih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. (Alquran, Surah al-Mā’idah/5: 3) 
Ayat ini menerangkan hewan apa saja yang diharamkan untuk dikonsumsi. Ditilik secara saksama, sesungguhnya yang disebut pada ayat ini adalah unsur-unsur yang telah dipaparkan pada ayat sebelumnya. Dengan demikian, tuntunan agama ini telah sedemikian jelas dan terinci menerangkan jenis-jenis makanan, terutama yang berasal dari hewan yang diharamkan.
Selain tuntunan Alquran, sumber lain yang dijadikan rujukan untuk menetapkan keharaman makanan adalah sabda-sabda Rasulullah. Melalui beberapa hadisnya beliau menginformasikan jenis makanan apa saja yang diharamkan untuk dikonsumsi umat Islam. Di antara hadis itu adalah,
Nabi melarang (umatnya) mengonsumsi daging keledai piaraan, tepat ketika Perang Khaibar terjadi. (Riwayat al-Bukhāri dari Ibnu ‘Umar)
Secara eksplisit hadis ini menerangkan keharaman mengonsumsi daging keledai piaraan. Bisa jadi pengharaman ini disebabkan fungsi hewan ini sebagai alat transportasi penting yang dapat dimanfaatkan manusia dalam segala aktivitasnya. Mengingat hal ini, tidaklah lazim bila hewan yang demikian berjasa dalam membantu kegiatan manusia, kemudian disembelih untuk dimakan. Hadis lain yang juga berisi keterangan tentang makanan-makanan yang diharamkan adalah,
Nabi melarang (umatnya) mengonsumsi daging binatang buas jenis apa pun yang memiliki taring, demikian pula burung-burung yang memiliki cakar tajam. (Riwayat Muslim dari Ibnu ‘Abbās)
Hadis ini menjelaskan bahwa semua binatang buas yang bertaring dan burung yang memiliki cakar adalah beberapa dari makanan-makanan yang diharamkan. Pengharaman ini didasarkan pada kenyataan bahwa kedua jenis hewan ini adalah pemakan daging yang mungkin juga bangkai.

  • Sebab Diharamkannya Makanan Tertentu
Tuntunan Alquran sangat lengkap. Bila Alquran menganjurkan atau melarang sesuatu pasti diterangkan pula sebab dan akibatnya. Demikian halnya ketika ada di antara ayat-ayatnya memberi informasi tentang larangan atau pengharaman makanan tertentu. Hal demikian dimaksudkan agar petunjuk yang terkandung dalam ayat-ayatnya dapat dipahami secara tuntas. Tanpa penjelasan tentang alasan pengharaman dan akibat yang dapat terjadi bagi yang melanggar larangan itu, tentu informasi yang dikandungnya masih menyisakan pertanyaan dari pembacanya.
Kita ambil contoh makanan-makanan yang disebut pada ayat-ayat di atas. Allah menjelaskan keharaman bangkai hewan yang mati dengan sendirinya. Hewan mati bisa biasanya disebabkan oleh suatu penyakit. Kenyataan ini sudah menjadi alasan kuat mengapa ia diharamkan, bahwa hewan yang mati akibat penyakit tentu saja akan membahayakan siapa pun yang mengonsumsinya. Bukan tidak mungkin penyakit itu akan menulari pemakannya. Ayam yang mati akibat flu burung, misalnya, dapat menularkan penyakit kepada ayam yang lain bahkan kepada manusia yang memakannya.
Daging babi diharamkan sebab berbagai alasan. Beberapa ahli menyebutkan bahwa hewan ini jorok dan suka memakan kotoran, suatu barang yang najis. Keadaan ini pasti berpengaruh pada kesehatan daging dan unsur-unsur lain yang ada padanya. Bila kesehatannya saja diragukan maka dagingnya pun diragukan kebaikannya. Karena itu, mengonsumsi babi pasti hanya akan mendatangkan dampak negatif. Alasan yang demikian ini membuat pengharaman babi menjadi sesuatu yang logis. Dalam Tafsīr al-Marāgi disebutkan bahwa karena jorok dan menyukai makanan dan tempat yang kotor, maka wajar bila babi diharamkan.
Sejalan dengan keterangan di atas, M. Quraish Shihab, mengutip dari buku Tarīm al-Khinzīr fī al-Islām karya Fārūq Musāhil, menjelaskan bahwa pengharaman babi bisa juga dikarenakan hewan ini mengandung sekian banyak jenis kuman dan cacing yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.
Selain itu, lemak babi mengandung asam lemak jenuh di antaranya trigliserida yang berbahaya bagi kesehatan. Kandungan kolesterol pada babi sangat tinggi, dapat mencapai 15 kali lipat dari yang terkandung dalam daging sapi. Demikian analisis yang dikemukakan para ahli dalam memaparkan kandungan berbahaya pada daging babi dan unsur-unsur lain yang terkait.



Daging Babi
Sementara itu, keharaman daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah atau disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala sangat terkait dengan masalah tauhid. Islam dibangun di atas pondasi tauhid sehingga semua aktivitas kehidupan mesti dilandaskan pada pondasi ini. Demikian halnya dalam soal penyembelihan hewan yang diperuntukkan sebagai bahan makanan. Bila hewan disembelih atas nama selain Allah maka hal ini akan mencederai ajaran tauhid. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sejatinya pengharaman hewan yang disembelih atas nama selain Allah adalah dalam rangka memurnikan tauhid.
Adapun pengharaman hewan-hewan yang mati tercekik, terjatuh, tertanduk oleh binatang lain, mati karena terpukul, dan sebagainya, alasan pengharamannya dapat disamakan dengan hewan yang mati dengan sendirinya atau bangkai. Ini wajar karena hewan itu telah mati akibat peristiwa yang menimpanya. Setelah mati metabolisme pada hewan akan terhenti, yang itu menyebabkan bangkitnya berbagai kuman penyakit yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, pengharamannya menjadi sesuatu yang logis dan dapat diterima oleh nalar. Namun demikian, seandainya ada hewan sehat mati terpukul, darah dimasak hingga bebas bakteri, atau babi dijaga kebersihan makanan dan tempat hidupnya, maka itu semua tetaplah haram. Perlu pula dipahami bahwa pengharaman makanan bagi umat Islam ditujukan untuk kebaikan manusia itu sendiri. Ini berbeda dari pengharaman beberapa makanan atas orang Yahudi, di mana pengharaman itu merupakan suatu bentuk hukuman dari Allah atas kelancangan mereka (lihat Surah al-An‘ām/6: 146).
  • Makanan Haram di Masyarakat
Masyarakat Indonesia sangat plural, di mana umat Islam yang jumlahnya mayoritas (Iebih dari 80%) hidup berdampingan dengan umat beragama lain, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Karena itulah di masyarakat atau di pasaran kita dapat dengan mudah menemukan makanan umat-umat lain yang haram menurut syariat Islam. Untuk itu umat Islam mesti memilih makanan yang halal, yang sejalan dengan syariat agama mereka. Beberapa makanan berikut dihukumi haram dan wajib dihindari.

  • Campuran Daging Babi



Daging Babi
Daging babi yang dijajakan di pasar atau supermarket cukup mudah dibedakan dari daging sapi atau kambing. Dengan memperhatikan kemasannya saja kita sudah bisa mendapat informasi daging apa yang ada di dalamnya. Mencampur daging babi dengan daging sapi atau kambing agak jarang terjadi. Pembeli juga mudah membedakannya dari aspek warna dan tekstur daging.
Keadaan akan menjadi sulit ketika daging babi dicampur ke dalam makanan, seperti sosis atau bakso. Sosis adalah produk makanan yang menarik karena rasa dan teksturnya yang halus serta mudah dimasak. Sosis dapat dibuat dari daging sapi, babi, ayam, atau bahkan ikan. Sosis daging sapi adalah menu rumah tangga yang digemari, terutama di Australia. Meski dikatakan sebagai sosis daging sapi, tetapi dari kunjungan ke sebuah pabrik sosis yang cukup besar di sana, diketahui bahwa sosis itu tidak selalu dibuat dari daging sapi murni. Di sana sosis dibuat dari potongan-potongan kecil daging yang tak berbentuk, dicampur dan digiling menjadi daging halus untuk selanjutnya dibuat sosis. Dalam proses pengumpulannya, daging- daging kecil tersebut, baik disengaja atau tidak, tercampur dengan daging dari hewan lain, misalnya babi. Menurut pengelola, kedua jenis daging tersebut tidak perlu dipisahkan karena sifatnya sama, yakni mudah digiling dan dibentuk. Pencampuran kedua jenis daging ini tidak dimaksudkan untuk mencederai umat Islam, tentu tidak semua sosis dibuat dengan campuran bahan seperti ini, tetapi pengalaman ini dapat dijadikan pelajaran bagi umat Islam untuk lebih hati-hati dalam mengonsumsi produk olahan daging, seperti sosis. Ketika membeli sosis impor atau produk dalam negeri, pembeli sebaiknya memperhatikan sertifikat halal dari LPPOM-MUI, suatu lembaga yang diberi tugas oleh pemerintah untuk melakukan sertifikasi kehalalan makanan dan minuman.
Kondisi akan bertambah rumit apabila unsur-unsur babi, baik daging, tulang, atau lemaknya dicampur dalam pembuatan atau pemasakan bakso, sebab adanya unsur-unsur babi di dalam bakso akan menjadikan rasa dan aromanya lebih enak. Penjual biasanya mengatakan jualannya halal karena berlabel bakso sapi. Pada kondisi semacam ini, umat Islam perlu berhati-hati dalam memilih warung atau rumah makan. Akan lebih mudah tentunya apabila warung atau rumah makan juga mendapat sertifikat halal dari LPPOM-MUI.

  • Darah Beku: Saren atau Marus
Saren atau marus adalah darah beku yang diperoleh dari penyembelihan hewan atau dikumpulkan dari abatoar. Darah yang telah membeku bersifat kenyal dan dapat dipotong dadu atau menjadi bentuk lainnya. Pemasakan atau penggorengan akan menghasilkan makanan yang menarik dengan warna coklat, mirip hati sapi. Saren atau marus banyak disajikan di beberapa restoran bersama tempe dan tahu goreng.
Kita dapat membedakan saren atau marus dari hati sapi goreng dari aspek bentuk, tekstur, dan rasanya. Pengusaha rumah makan atau restoran muslim perlu disadarkan bahwa menjual saren adalah hal yang dilarang. Bila pemanfaatan darah menjadi bahan makanan diharamkan, maka setidaknya ada dua metode dalam pemanfaatannya yang tidak dilarang. Pertama, saren bisa dijadikan makanan ikan karena mengandung protein. Kedua, karena amat mudah busuk darah dapat digunakan untuk mempercepat proses pembusukan sampah dalam pembuatan pupuk organik.

  • Daging Ular
Banyak warung atau rumah makan khusus yang menyajikan makanan daging ular hasil buruan, misalnya piton, kobra, dan lainnya. Binatang melata ini termasuk binatang bertaring yang diharamkan, sesuai hadis Rasulullah yang telah disebutkan sebelumnya.
Berbagai alasan dikemukakan oleh mereka yang suka mengonsumsi daging ular, mulai dari menjaga vitalitas, meningkatkan kemampuan seksual, hingga mempercepat pembekuan darah pasien operasi. Sebetulnya kita tidak perlu mengonsumsi ular yang diharamkan untuk mendapat tujuan-tujuan di atas karena dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat-obatan atau vitamin yang halal. Di samping itu, perburuan ular yang masif sangat mengganggu keseimbangan ekosistem di alam. Menyusutnya populasi ular yang merupakan predator alami tikus membuat populasi tikus meledak, suatu kondisi yang tentu berdampak buruk pada bidang pertanian.

  • Daging Anjing
Beberapa warung menyediakan daging anjing. Konsumennya biasanya berasal dari suku tertentu. Anjing bukanlah makanan bagi umat Islam karena termasuk binatang bertaring yang diharamkan oleh hadis Rasulullah.
Masih ada daging lain yang sehat dan dihalalkan, seperti kambing, biri-biri, atau sapi yang kehidupan atau makanannya lebih bersih. Bila anjing dikonsumsi seseorang untuk meningkatkan kemampuan seksualnya maka sesungguhnya ada banyak obat halal dapat direkomendasikan kepadanya.

  • Hewan yang diragukan kehalalannya
Banyak hewan-hewan lain, yang diragukan status halal-haramnya, yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat, misalnya bekicot, katak, serangga, cacing, dan lain-lain. Umat Islam sebaiknya mengacu kepada keputusan LPPOM-MUI yang dengan fatwanya telah memberi petunjuk dalam memilih makanan halal dan menghindari makanan haram. Sebagai alternatif, mereka bisa mengonsumsi ikan laut, cumi-cumi, dan tripang yang lebih enak dan terjamin kehalalannya.

  • Teknik Penyembelihan Hewan
Metode penyembelihan binatang ternak seperti sapi dan ayam di negara-negara maju berbeda dengan apa yang disyariatkan oleh Islam. Dalam Islam, daging ternak adalah halal apabila disembelih dengan nama Allah dan menjadi haram bila disembelih atas nama selain Allah.
Dilihat dari cara penyembelihan, daging hewan ternak menjadi haram apabila disembelih untuk sesaji atau atas nama selain Allah. Ini dapat dimengerti karena pada hakikatnya Allah-Iah yang menciptakan binatang tersebut, bukan manusia apalagi berhala. Di negeri kita penyembelihan hewan kebanyakan mengikuti syariah, di mana hewan disembelih dengan mengucapkan basmalah, tetapi tidak mesti demikian adanya di luar negeri. Di negara-negara maju, untuk memotong ayam mereka menggunakan mesin otomatis, di mana deretan ayam digantung terbalik (kepala di bawah) dan berjalan otomatis melewati pisau pemotong yang berputar.
Cara ini memang efisien karena hanya dalam hitungan jam saja ribuan ayam dapat disembelih, meski ia menyisakan masalah bagi umat Islam karena ayam-ayam itu tidak disembelih baik dengan nama Allah (basmalah) maupun atas nama selain Allah, melainkan murni untuk tujuan diperdagangkan. Karenanya, metode penyembelihan seperti ini menjadikan status kehalalan ayam tersebut dipertanyakan oleh umat Islam di luar negeri. Ada yang menganggap haram sehingga mereka mencari daging ayam yang benar-benar disembelih dengan nama Allah. Daging ayam yang demikian ini sukar diperoleh. Andaikan diperoleh, harganya lebih mahal dan kualitas dagingnya tidak sebagus yang disembelih dengan mesin. Ada pula sebagian umat Islam yang mengonsumsi daging ayam yang disembelih secara modern ini dengan mengucapkan bismillāhirramānirraḥīm sebelum memakannya. Mereka beranggapan bahwa keberadaan mereka di luar negeri bersifat darurat dan daging sembelihan Ahli Kitab (Nasrani) boleh dimakan, apalagi setelah mereka mengucapkan asma Allah sebelum mengonsumsinya. Dalam rangka menjawab keraguan umat Islam tersebut, akhir-akhir ini perusahaan pemotongan ayam mendatangkan ustaz atau orang Islam untuk mengucapkan basmalah ketika mesin pemotong mulai dijalankan. Ini dilakukan karena mustahil mengucapkan basmalah untuk setiap ayam yang terpotong mengingat kecepatan potong mesin itu amat tinggi.
Seperti halnya ayam, proses penyembelihan sapi di luar negeri juga dilakukan cara yang berbeda dari apa yang lazim kita jumpai di Indonesia. Mereka menganggap penyembelihan secara langsung cukup menyakitkan bagi hewan tersebut. Sebagai alternatif mereka berusaha membuat binatang besar seperti sapi dan kerbau pingsan sebelum disembelih. Mulanya usaha ini dilakukan dengan metode suntik, tetapi akhir-akhir ini dilakukan dengan cara memukulkan benda tumpul ke kepala sapi atau kerbau sebelum disembelih. Selanjutnya, dilakukanlah proses penyetruman yang membuat alur daging lurus dan empuk. Kita sebagai manusia sebetulnya masih perlu mempertanyakan apakah pemukulan tersebut mengurangi atau malah mendatangkan rasa sakit dalam bentuk lain kepada objek yang hendak disembelih. Perlu juga diwaspadai jangan-jangan sapi atau kerbau itu justru sudah mati akibat dipukul, sebelum sempat disembelih. Bila demikian adanya maka hewan tersebut sudah pasti dihukumi haram, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah pada Surah al-Mā’idah/5: 3 berikut

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ ۗ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ


Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlām (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. (Alquran, Surah al-Mā’idah/5: 3)
Anggap saja hewan itu memang mati akibat disembelih, tapi apakah penyembelihan itu dilakukan atas nama Allah atau tidak, menjadi persoalan berikutnya. Pilihan untuk mengonsumsi atau tidak daging hewan yang disembelih dengan cara demikian ada di tangan setiap individu muslim. Sebagian dari kita enggan mengonsumsinya sama sekali, sebagian yang lain mau mengonsumsi dengan lebih dahulu mengucapkan basmalah, dan sebagian lagi meyakini kehalalannya karena sembelihan Ahli Kitab adalah halal (al-Mā’idah/5:

 5). Dewasa ini teknologi penyembelihan macam ini telah masuk ke Indonesia. Dengan demikian, adalah tugas pemerintah atau MUI untuk menjelaskan status kehalalan sistem penyembelihan itu, yang bisa menjadi pegangan bagi umat Islam di Indonesi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar